Senin, 07 Desember 2009

REFORMASI SISTEM KELEMBAGAAN MPR (MEMFORMAT ULANG KEDUDUKAN MPR MENUJU JOINT SESSION)

REFORMASI SISTEM KELEMBAGAAN MPR
(MEMFORMAT ULANG KEDUDUKAN MPR MENUJU JOINT SESSION)

I. Pendahuluan

MPR sebelum diadakan amandemen UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi Negara yang memiliki kekuasaan sangat besar dalam mengatur bangsa ini. Walaupun pada hakekatnya pada masa orde baru MPR merupakan kaki tangan dari Presiden Suharto, akan tetapi melihat dari tugas dan wewenang MPR sangatlah tidak terbatas. Demikian besarnya kekuasaan MPR hingga muncul sebuah anekdot yang mengatakan bahwa : “ Tidak ada yang tidak bisa dilakukan MPR, kecuali merubah alat kelamin perempuan menjadi alat kelamin laki-laki.”
Sebelum Perubahan UUD 1945 kedudukan MPR adalah sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat. Dalam UUD 1945 sebelum Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat ini seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi. Dalam menjalankan kekuasaan ini Majelis Permusyawaratan Rakyat bertindak seakan tidak pernah salah, karena terkait dengan sistem ketatanegaraan, perekrutan anggota dan sistem pengambilan keputusan MPR.
Setelah diadakan amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam rentang waktu 1999-2002, konstitusi tersebut mengalami perubahan yang sangat mendasar dan meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Pada amandemen ke empat UUD 45, terjadi perubahan dalam tugas dan wewenang MPR. Kedaulatan yang sebelumnya ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan oleh Undang-Undang Dasar. Tugas dan wewenang MPR yang sebelumnya sangat tidak terbatas menjadi sangat terbatas dan lebih banyak hanya bersifat sewaktu-waktu saja (dalam keadaan abnormal).
Tugas dan wewenang yang sangat terbatas dan bersifat tidak permanen ini menjadikan penyebab munculnya kontroversi atas tetap atau tidaknya MPR sebagai lembaga permanen, mengingat tugasnya yang hanya sewaktu-waktu saja. Dalam makalah ini penulis menilai bahwa MPR saat ini lebih tepat untuk dijadikan sebagai joint session (sidang gabungan) antara DPR dan DPD yang bersifat sewaktu-waktu saja, bukan sebagai lembaga yang bersifat independen, berdiri sendiri, dan permanen.


II. Pembahasan

A. Perbandingan Tugas dan Wewenang MPR Sebelum dan Pasca Amandemen

A.1. Tugas MPR Sebelum Amandemen
Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum Perubahan UUD 1945 ada didalam pasal 3 dan pasal 6 UUD 1945 serta pasal 3 Ketetapan MPR No. 1/MPR/ 1983, dan dinyatakan sebagai berikut:
1. Menetapkan Undang Undang Dasar
2. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3. Memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden.
Dalam tugas MPR ini dapat dipelajari bahwa tugas MPR sebagai suatu lembaga negara meliputi tiga. Tugas ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai tugas yang besar yaitu membuat Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh Majelis Permusyawatan Rakyat.

A.2. Wewenang MPR Sebelum Perubahan UUD 1945
Sedangkan wewenang MPR menurut Prof Sri Soemantri bahwa jika diteliti dalam UUD 1945 maka Undang Undang Dasar 1945 hanya mengatur satu wewenang saja, yaitu dalam pasal 37. Dan setelah adanya ketetapan MPR No. 1/MPR/1983 dapat kita lihat bahwa wewenang MPR tidak hanya itu saja. Dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR No 1/MPR/1983 kewenangan MPR ada sembilan, yaitu :
1. Mmbuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris;
2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis;
3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden;
4. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut;
5. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.;
6. Mengubah undang-Undang Dasar;
7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis;
8. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota;
9. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.

A.3. Tugas dan Wewenang MPR Pasca Amandemen:
1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, dalam Sidang Paripurna MPR;
3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
4. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
5. Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
6. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.

B. Berkurangnya Peran MPR

Kedudukan MPR pasca amandemen UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat signifikan, yaitu dari lembaga tertinggi Negara yang memiliki kewenangan sangat besar hingga menjadi lembaga tinggi Negara yang setingkat dengan Presiden. Bahkan dari beberapa tugas yang diembannyapun apabila ditelaah lebih lanjut maka hanya beberapa tugas saja yang menjadi kegiatan rutin bagi MPR, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan Peraturan Tata Tertib dank ode etik MPR, sedangkan tugas yang lain hanya dilakukan apabila terjadi suatu keadaan yang abnormal.
Mengingat kecilnya peranan MPR, muncul pemikiran untuk tidak melembagakan MPR. Dengan demikian MPR hanyalah merupakan joint session (sidang gabungan) antara DPR dan DPD. Konsekuensinya adalah MPR tidak mempunyai pimpinan sendiri dan lembaga ini tidak ada bila tidak ada sidang gabungan tersebut. Struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang baru, MPR di samping tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi, juga tidak lagi bersifat permanen. MPR pada hakikatnya tetap dapat disebut sebagai institusi atau lembaga, tetapi sifat tugasnya tidak lagi permanen dan sifat kegiatannya tidak lagi terus menerus atau rutin. Kegiatan MPR yang bersifat rutin hanya satu yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden setiap lima tahun sekali. Sedangkan kegiatan lainnya terkait dengan tugas dan kewenangan yang tidak terjadwal secara rutin. Jika MPR tidak lagi bersifat rutin atau permanen, sudah seyogyanya MPR tidak memerlukan alat-alat kelengkapan yang bersifat permanen. Misalnya, lanjutnya, MPR tidak memerlukan Badan Pekerja yang bersifat tetap, dan juga MPR tidak memerlukan perangkat Sekretariat Jenderal yang tetap. Demikian pula dengan organ Pimpinan MPR yang bersifat permanen juga tidak lagi diperlukan.
Jika MPR masih diberlakukan seperti sekarang yang bersifat permanen, itu tidak hanya akan menghabiskan biaya, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan sifat yang permanen, MPR tentu membutuhkan pimpinan serta sekretariat tetap, sehingga akan menghabiskan biaya.


III. Kesimpulan

Dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang baru, MPR di samping tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi, juga tidak lagi memiliki tugas yang rutin dalam pelaksanaannya. MPR pada hakikatnya tetap dapat disebut sebagai institusi atau lembaga, tetapi sifat tugasnya tidak lagi permanen dan sifat kegiatannya tidak lagi terus menerus atau rutin. Mengingat kecilnya peranan MPR, maka munullah pemikiran untuk tidak melembagakan MPR, sehingga dengan demikian MPR hanyalah merupakan joint session (sidang gabungan) antara DPR dan DPD. Dengan sifat seperti itu maka pimpinan MPR dan strukturnya juga tidak bersifat permanen. Struktur yang tidak permanen ini juga berpengaruh pada beban anggaran yang tidak terlalu membebani APBN (penghematan).

DAFTAR PUSTAKA
- Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
- ________ . Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
- Huda. Ni’matul. Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
- ________ . UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajawali Press, 2008.
- Mahfud MD, Moh. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993.
- ________. Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta: UII Press, 1999.
- ________ . Perdebatan Hukum Tata Negara, Jakarta: LP3ES, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Ralepi.Com - Motorcycle News