BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak-tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah– kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat. Tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang–orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya–daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Dinegara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya. Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah–kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang timbul dan berkembang di dalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemanfaatan antar sesama manusia sekaligus menghindarkan perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik–baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Kedudukan Hukum Tanah Adat dan Agraria Indonesia dalam Penanggulangan Permasalahan Pertanahan.
Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat. Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun perlu diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan,SH bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan
negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama. Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar-benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan. Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian ataupun transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai – nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini. Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar.
Dalam hukum tanah adat terdapat tanah persekutuan dan tanah perseorangan yang menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.
Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya. Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan sosial dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan
keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling imbang mengimbangi, atau adil adanya.
Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian hukum bidang pertanahan adalah dengan melakukan pensertifikatan tanah adat. Pasal 19 UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan- ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas yang jelas. Untuk kondisi pertanahan di Indonesia yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh hukum Eropa dan hukum tanah adat, cara yang agaknya memenuhi syarat tersebut ialah sistem buku tanah.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum tanah adat pada saat ini mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum tanah adat saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif dan aplikatif ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.KESIMPULAN
Setidaknya ada empat cirri penguasaan tanah menurut hukum adat di Indonesia yaitu: tidak mengenal kepemilikan mutlak, bersifat inklusif, larangan memperjualbelikan tanah, serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya disbanding sumber daya tanah. Sesungguhnya penguasaan menurut hukum tanah adat akal lebih tepat untuk kesejahteraan masyarakat, karena menghindari tanah yang terlantar dan juga bagi hasil yang lebih adil.
Oleh karena itu penetapan hukum tanah adat menjadi sumber hukum materiil di Indonesia masih sangat relevan walaupun ditengah-tengah pengembangan hukum agraria di Indonesia pada saat sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia, Jakarta: Cendana Press, 1984.
- Ahmad Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila, Jakarta: Dewa Ruci Press, 1982.
- E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: T.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, 1962.
- Parlindungan, Komentar Atas Undang- Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maj, 1998.
- Mr.Ter Haar BZN, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar