Senin, 07 Desember 2009

Kajian Pasal 48 KUHP Mengenai Overmacht (Daya Paksa)

Kajian Pasal 48 KUHP Mengenai Overmacht (Daya Paksa)
(Studi Kasus Pembunuhan Dua Nelayan Acuk dan Antonius)

I. Pendahuluan

Dalam prespektif hukum pidana terdapat asas “Geen Straf Zonder Schuld” (tidak ada pidana tanpa kesalahan). Namun demikian, tidak setiap orang yang melakukan tindakan pidana secara otomatis dapat dijatuhi pidana. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana disyaratkan bahwa pelaku perbuatan pidana tersebut harus merupakan orang yang dapat atau patut dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu.
Berdasarkan hal tersebut, maka substansi pokok dari masalah pertanggung jawaban pidana adalah: apakah pada saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku merupakan orang yang patut dicela atas perbuatannya itu? Atau dengan kata lain, apakah pada saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku merupakan orang yang patut dipersalahkan atas perbuatannya itu?
Untuk dapat menyimpulkan bahwa saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku adalah memang merupakan orang yang patut dicela/dipersalahkan (mempunyai kesalahan) haruslah didasarkan pada beberapa kriteria mengenai pertanggung jawaban pidana yang berupa hal-hal sebagai berikut:
1. Pelaku perbuatan pidana merupakan orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab. Artinya akalnya sehat dan mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk.
2. Pelaku melakukan perbuatannya secara sengaja atau setidak-tidaknya culpa;
3. Dalam diri si pelaku perbuatan pidana harus tidak ada hal-hal yang merupakan alasan pemaaf. Misalnya perbuatan pidana yang dilakukan tidak atas dasar daya paksa, atau karena pembelaan dan lain sebagainya;
4. Perbuatan pidana yang dilakukan si pelaku harus tidak ada hal-hal yang merupakan alasan pembenar.
Pada kesempatan kali ini penulis akan menganalisis sebuah kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang, yaitu: Ali Murtadlo, Abdullah Ismail, Rasul Ardyansah, dan Nurdin terhadap Acuk dan Antonius. Apakah perbuatan pidana yang mereka lakukan dapat dipertanggungg jawabkan sehingga mereka harus dikenai sanksi pidana pembunuhan ?

II. Pembahasan

A. Posisi Kasus

Pada tanggal 11 April 2006 di sekitar perairan Nusa Penida telah terjadi sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang, yaitu: Ali Murtadlo (26), Abdullah Ismail (29), Rasul Ardyansah (31), dan Nurdin (39), sedangkan korban adalah Acuk dan Antonius. Kedua korban yang berprofesi sebagai nelayan tewas akibat kekurangan udara ketika menyelam untuk mencari udang lobster. TersangkaAli Murtadlo dan Nurdin sebelumnya dituntut penjara selama 10 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum Suhadi. Mereka dianggap telah melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berbunyi: “Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.” Begitu juga dengan Abdullah Ismail, Rasul Ardyansyah, mereka juga dianggap telah melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

B. Kronologi Kejadian

Kasus ini terjadi ketika Rasul Ardyansyah, Abdulah Ismail, Ali Murtadlo, Nurdin bersama-sama korban Acuk dan Antonius berangkat berlayar menggunakan perahu motor menuju sekitar perairan Nusa Penida pada hari Senin 10 April untuk menangkap lobster. Pada hari pertama di laut, kata Rasul, semua ABK sudah dapat giliran menyelam. KM Bali Saputra sudah memuat sekitar tujuh kilogram lobster. Nasib naas bagi ABK KM Bali Saputra terjadi di hari kedua, Selasa 11 April. Saat itu, Acuk dan Antonius dapat giliran menyelam. Sesuai layaknya penyelam, sebelum terjun ke air keduanya telah melengkapi diri dengan perlengkapan menyelam. Setelah ± 1/2 jam berada di dalam air, Ali dan kawan-kawan. merasakan arus besar dan kedua korban masuk lorong. Panjang selang oksigen kompresor yang dipakai menyelam mencapai 180 meter. Para tersangka mengaku sudah dua jam berusaha menarik Acuk dan Antonius, mereka mengaku panik dan bingung memikirkan nasib korban.
Kondisi yang dialami para terdakwa di atas kapal KLM Bali Saputra di perairan Nusa Penida sudah sangat krusial. Mereka pun kemudian rapat mendadak serta memutuskan langkah apa yang akan diambil.. Selanjutnya, tersangka Nurdin mengambil keputusan yang penuh risiko. Nelayan paling tua itu memerintahkan Ali memotong selang yang dipakai Acuk dan Antonius menyelam. Alasan para tersangka, tak ada jalan lain kecuali memutuskan selang kompresor yang mensuplai oksigen ke hidung korban, karena kalau tetap bertahan hal itu berpotensi bisa menyeret kapal yang mereka tumpangi, akibatnya kapal pasti hancur dan semua ABK mati. Para tersangka juga mengira dengan dipotongnya selang dapat mengurangi resiko terbenturnya korban ke batu karang.

C. Over Macht (Daya Paksa)

Dalam pasal 48 KUHP, ditegaskan bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Secara teoritik, bentuk-bentuk daya paksa dapat dibedakan ke dalam dua ketegori:
1. Vis Absolute, yaitu suatu kekuatan fisik bersifat mutlak yang mengenai dan mengkondisikan seseorang hingga ia tidak dapat menghindar sama sekali untuk berbuat lain kecuali terpaksa melakukan perbuatan pidana yang dilarang hukum. Dalam hal ini, pelaku hanya merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu ia tidak dikenai pidana karena hakekat alat adalah benda mati dan hukum tidaklah membicarakan atau mengatur benda mati sebagai obyek.
Contoh kasus: A menculik anak B, kemudian A menyuruh B untuk membunuh C, kalau A tidak mau maka anaknya akan dibunuh. Dalam kasus demikian, terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan B adalah karena ia berada dalam suatu kondisi sangat terpaksa akibat kekuatan fisik (berupa ditawannya anak oleh A).
2. Vis Compulsiva, yaitu suatu kekuatan psikis yang mengkondisikan seseorang hingga berada dalam keadaan terpaksa melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum.
Secara teoritik, sumber datangnya kekuatan psikis tersebut adakalanya berasal dari kekuatan mempengaruhi jiwa yang dilancarkan seseorang sehingga yang terkena secara psikis tidak lagi memiliki kehendak apa-apa selain mengikuti kemauan pihak yang melancarkan pengaruh jiwa tadi. Misalnya adalah hipnotis dan gundam.
Di samping itu, kekuatan psikis yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan pidana tersebut adakalanya juga bersumber dari suatu keadaan tertentu (non manusia) yang sering disebut dengan “keadaan darurat” (suatu keadaan yang sedemikian rupa benar-benar mengkondisikan seseorang hingga tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk menentukan pilihannya antara melakukan atau tidak melakukan perbuatan pidana). Dengan kata lain orang yang melakukan suatu perbuatan pidana karena tidak memiliki pilihan lain untuk menghindarinya.
Keadaan darurat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis:
a. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melaksanakan dua kewajiban sekaligus.
Contoh: Tono harus menjadi saksi di dua pengadilan di waktu dan hari yang sama. Sikap Tono yang tidak menghadiri di salah satu pengadilan dapatlah dibenarkan atau dimaafkan sehingga tidak dikenai pidana;
b. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi dua kepentingan sekaligus.
Contoh: A dan B sedang tersesat di gurun padang pasir dan tinggal tersisa seteguk air yang cukup untuk satu orang saja. A yang memegang botol air tersebut berada dalam situasi terjepit di antara dua kepentingan, yaitu di satu pihak ia berkepentingan menyelamatkan nyawanya sendiri, namun di pihak lain ia juga berkepentingan menyelamatkan nyawa B. Sikap A yang meminum air tersebut hingga B mengalami kematian karena dehidrasi dapat dibenarkan atau dimaafkan;
c. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi suatu kepentingan dengan keharusan melaksanakan suatu kewajiban.
Contoh: seorang pengemis yang mencuri makanan dikarenakan sudah tiga hari tidak makan. Dalam kasus tersebut pengemis tersebut dihadapkan pada dua sisi yaitu kepentingan mempertahankan hidup dan kewajiban untuk tidak mencuri. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak dapat dikenai ancaman pidana.


D. Analisis Kasus Pembunuhan Dua Nelayan Acuk dan Antonius Dalam Prespektif Pasal 48 KUHP (Overmacht / Daya Paksa)

Untuk bisa memabuktikan bahwa seseorang benar-benar telah melakukan suatu perbuatan pidana, pertama-tama harus diperhatikan terlebih dahulu perbuatan orang tersebut memang sudah ada diatur dalam hukum yang menegaskan sebagai perbuatan tercela/ terlarang dan barang siapa yang melanggarnya dapat dikenai sanksi/ pidana tertentu. Hukum disini bisa berupa hukum tertulis atau undang-undang maupun hukum tidak tertulis. Kedua, harus pula dibuktikan bahwa perbuatan orang tersebut dalam fakta kasus memang memenuhi semua unsur perbuatan pidana sebagaimana telah ditentukan dalam hukum. Ketiga, orang tersebut memang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan secara pidana.
Setelah melakukan penelitian oleh aparat lebih lanjut, yaitu dengan mengumpulkan bukti-bukti dan melakukan rekonstruksi ulang kejadian (tanggal 23, Mei) tersebut, dapatlah dibuktikan bahwa alasan tersangka tidaklah dibuat-buat dan benar apa adanya. Keadaan ketika itu sudah sangat krusial. Mereka dihadapkan di antara dua kepentingan sekaligus, yaitu menyelamatkan nyawanya sendiri dan menyelamatkan korban. Korban Acuk dan Antonius yang diperkirakan sudah terseret arus ± 2 jam, apabila terus dibiarkan dengan selang kompresor, maka hal itu dapatlah menyeret kapal yang mereka tumpangi dan berakibat hancurnya kapal (terkena batu karang) yang itu dapat menyebabkan semua ABK mati.
Dalam kasus pembunuhan dua nelayan Acuk dan Antonius dapatlah dikategorikan dalam kasus pidana karena pengaruh overmacht (daya paksa). Secara teoritik kasus tersebut masuk dalam kategori overmacht vis compulsive yang bersumber dari suatu keadaan tertentu (non manusia) yang sering disebut dengan “Keadaan Darurat”.
Walaupun perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan pidana (yakni membiarkan orang lain yang seharusnya ditolong hingga berakibat meninggal dunia), akan tetapi perbuatan tersebut dibenarkan atau dimaafkan, karena hal itu mereka lakukan dalam keadaan yang bersifat darurat. Oleh karena itu berdasarkan pasal 48 KUHP, perbuatan demikian tidak dapat dikenai pidana.

III. Kesimpulan

Pasal 48 KUHP mengajarkan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan pidana karena daya paksa maka tidak dipidana. Ali Murtadlo, Abdullah Ismail, Rasul Ardyansah, dan Nurdin, telah melakukan pembunuhan terhadap Acuk dan Antonius. Akan tetapi pembunuhan tersebut didasarkan pada keadaan yang bersifat darurat, yaitu karena adanya daya paksa.
Alasan para tersangka adalah, tak ada jalan lain kecuali memutuskan selang kompresor yang mensuplai oksigen ke hidung korban, karena kalau tetap bertahan hal itu berpotensi bisa menyeret kapal yang mereka tumpangi, akibatnya kapal pasti hancur dan semua ABK mati. Para tersangka juga mengira dengan dipotongnya selang dapat mengurangi resiko terbenturnya korban ke batu karang.
Setelah adanya penelitan lebih lanjut, alasan tersangka tidaklah dibuat-buat dan memang benar apa adanya. Hal atau keadaan inilah yang menjadikan keempat tersangka tidak dapat dipidana karena walaupun mereka melakukan tindak pidana, tetapi terdapat alasan pemaaf bagi mereka semua yaitu keadaan memaksa (overmacht).


DAFTAR PUSTAKA

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (terjemahan Moeljatno), cet.22 Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003
- Kholiq, M. Abdul, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, 2002
- Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002.
- www.balipost.com, diakses tanggal 4 Desember 2008.
- www.kompas.co.id, diakses tanggal 4 Desember 2008.
- www.republika.co.id, diakses tanggal 4 Desember 2008.
- www.kedaulatan rakyat.co.id, diakses tanggal 4 Desember 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Ralepi.Com - Motorcycle News