Senin, 07 Desember 2009

KONFRONTASI ANTARA KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN HUKUM


I. Pendahuluan

Tujuan dibentuknya suatu hukum (tertulis) adalah demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu maka dianutlah asas legalitas dalam hukum. Asas legalitas ini lahir akibat kesewenangan yang dilakukan oleh penguasa pada zaman dahulu (Romawi) terhadap anggota masyarakat yang ada, hal ini tercipta oleh karena tidak adanya kepastian hukum yang dapat menciptakan perlindungan yang jelas (secara tertulis) terhadap hukum (pidana) yang berlaku pada saat itu, sehingga membuat setiap anggota masyarakat dapat dijatuhi pidana berdasarkan kehendak dan kebutuhan raja-raja di zaman itu.
Akan tetapi dalam realitasnya asas ini justru menimbulkan konfrontasi tersendiri, yaitu antara asas legalitas formil (kepastian hukum) dan asas legalitas materiil (keadilan hukum). Dalam beberapa kasus, korupsi misalnya, ada yang secara nominal tidak besar tapi dihukum berat, sedangkan mereka yang melakukan korupsi milyaran rupiah dihukum ringan, bahkan dibebaskan. Dan juga bagaimana hukum / penegak hukum menghadapi suatu kasus tindak pidana yang mana tidak terdapat dalam suatu peraturan Perundang-Undangan. Apakah si pelaku dibebaskan, karena memang tidak ada pasal yang mengatur tentang tindak pidana tersebut, ataukah si pelaku tetap harus dikenai sanksi, karena tindakannya itu melanggar norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini kita dihadapkan antara dua pilihan, yaitu: keadilan atau kepastian hukum.

II. Pembahasan

A. Kepastian Hukum

Dalam KUHP pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa: "Tiada suatu perbuatan boleh di hukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu."
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, maka setidaknya ada 3 hal yang menjadi pedoman dalam hukum pidana berkaitan dengan hal tersebut, yakni:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Hal tersebut menjadikan seolah-olah realisme hukum (pidana) adalah dengan adanya kepastian hukum. Hukum dianggap sebagai realitas yang ada dan dibuat secara sempurna. Hukum merupakan aturan yang siap diterapkan dan dapat menemukan jawaban yang tepat terhadap masalah hukum dengan penuh kepastian (M Tebbit, 2000:25).
Apabila kepastian hukum dijadikan sebagai realitas hukum (pidana), maka akan menjadikan hukum (pidana) itu kaku dan sangat terbatas dalam implementasinya, karena adanya putusan dalam pidana harus didahului dengan adanya undang-undangnya terlebih dahulu.
Terbukti bahwa hukum (pidana) dengan menganut asas ini tidak dapat berbuat apa-apa dalam menangani berbagai kasus yang muncul di negeri ini, disebabkan karena tidak adanya undang-undang yang mengatur tindak pidana tersebut. Sebut saja kasus cybercrime, kejahatan dalam perbankan dan pasar modal, dan kasus kanibalisme yang dilakukan oleh Sumanto. Hukum tidak dapat berbuat apa-apa dalam menangani kasus tersebut. Dalam kenyataannya Sumanto hanya dikenai pasal pencurian dan bukan pasal kanibalisme, karena tidak ada Peraturan Perundang-undangan manapun di Indonesia yang mengatur tentang kanibalisme.


B. Keadilan Hukum

Tujuan utama dalam pasal 5 (3) –b UU No : 1/Darurat/1951 adalah untuk keadilan hukum. Dalam penegakan hukum pidana tidak hanya bergantung kepada hukum pidana tertulis atau KUHP saja, akan tetapi juga melihat kepada hukum pidana adat, agama, dan aturan-aturan / norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Undang-undang kekuasaan kehakiman juga sudah mewajibkan kepada para hakim untuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Keadilan tidak dapat berdiri hanya dengan berdasarkan UUD, UU, dll. Tugas utama seorang hakim adalah menegakkan keadilan, bukan menegakkan hukum. Hukum hanyalah sebagai sarana untuk menegakkan keadilan. Jadi keadilan harus tetap ditegakkan walaupun belum ada hukum, karena keadilanlah yang mengatur hukum, bukan hukum yang mengatur keadilan.
Dalam penjelasan pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan juga bahwa tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Bismar Siregar dalam bukunya “Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan” menambahkan bahwa dasar seorang hakim dalam mengambil putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan.
Islam juga mengajarkan kita agar berbuat adil dalam menyelesaikan suatu perkara. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat an-Nisa:58: “Kalau kamu menetapkan hukum kepada orang lain, lakukanlah secara adil.” Selanjutnya dalam surat an-Nisa: 135 disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan dan jadilah kamu saksi-saksi untuk Allah, meskipun merugikan dirimu sendiri atau orang tua dan kerabat dekat, kalau mereka itu kaya ataupun miskin, Allah lebih utama menanggung mereka berdua.

C. Pertentangan Antara Kepastian Hukum dengan Keadilan Hukum

Persoalan antara penegakan asas legalitas formiil dan asas legalitas materiil merupakan persoalan dilematis yang cukup lama. Dilemanya terletak pada apakah kita akan menggunakan prinsip kepastian hukum atau prinsip keadilan. Kedua-duanya ada dalam konsepsi negara hukum.
Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum rechtstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep negara hukum the rule of law.
KUH Pidana kita sebagaimana terlihat dalam pasal 1 ayat (1) menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitas. Tetapi, sejak berlakunya UU No 14/1970, selain menerapkan bunyi UU, hakim harus menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Itu berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa keadilan.
Jadi, sekalipun asas legalitas dalam KUHP Indonesia memiliki latar belakang dari ide/nilai dasar "kepastian hukum", namun dalam realistanya kemudian asas legalitas ini kemudian mengalami berbagai penghalusan / pergeseran / perluasan yakni antara lain sebegai berikut :
1. Terdapat dalam KUHP itu sendiri yakni pada Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi "Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa."
2. Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori hukum pidana, dikenal adanya sifat melawan hukum yang materil.
3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia yakni melihat pada Undang Undang Dasar Sementara 1950, Undang – Undang Darurat 1951, asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai "nullum delictum sine lege", tetapi juga sebagai "nullum delictum sine ius" atau tidak semata-mata di lihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas material, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum.

Memang tujuan hukum adalah untuk keadilan dan kepastian hukum. Antara keduanya harus ada keseimbangan. Keseimbangan antara keduanya bisa berada pada titik yang berbeda. Bila hukum diibaratkan sekeping mata uang, satu sisi adalah dimensi keadilan sedangkan sisi lain adalah kepastian. Hukum bisa mengandung dua sisi sekaligus, namun tidak jarang hukum harus memilih salah satunya. Ketika hukum harus memilih, akan ada pilihan yang dipilih sedangkan yang lain dikesampingkan.
Dalam kondisi ini, Gustaf Radbruch telah mengurai “teori prioritasnya” dalam mencapai tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum), bahwa jika terjadi benturan atau ketidakkonsistenan antara undang-undang dan keadilan dalam mencapai tujuan hukum, maka yang patut didahulukan adalah keadilan.
Sifat mendahulukan keadilan dari pada kepastian hukum memang tidak sepenuhnya disepakati, karena hal itu akan mengakibatkan:
1. Kepastian hukum akan goyah atau dikorbankan
2. Secara ekstern, hal ini akan memberikan kepada hakim untuk bertindak sewenang-wenang; atau hakim akan mempunyai tugas yang berat sekali untuk mempertimbangkan rasa keadilan dan keyakinan masyarakat mengenai ketentuan hukum yang tidak tertulis.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar.
Dalam praktik hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak, sehingga turunlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan sudah diterapkan. Akan tetapi mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih banyak saja masyarakat yang tidak puas. Inilah masalahnya, yaitu tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat (social justice). Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan alsan terikat dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku bahkan dalam beberapa hal justru melenceng.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah mewajibkan kepada para hakim untuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar penegakan hukum di Indonesia dapat lebih baik dan masyarakat percaya pada hukum yang berlaku, diperlukan penegakan hukum yang berkeadilan, itulah yang didamba-dambakan oleh masyarakat. Untuk iltu dalam penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan kehadiran para penegak hukum yang bervisi keadilan, dan penguasa yang bersikap adil sebagaimana dalam cita hukum tradisional bangsa Indonesia diistilahkan dengan “ratu adil” atau yang diimpikan Plato dengan konsep “raja yang berfilsafat” (filosopher king) ribuan tahun yang silam.

III. Kesimpulan

Konfrontasi antara asas legalitas formiil dan legalitas materiil memang sudah menjadi persoalan yang cukup lama. Apalagi para pakar hukum pidana sudah tidak mempersoalkan konfrontasi ini, bahkan menjadikannya sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.
Pada dasarnya kepastian hukum dan keadilan hukum haruslah ditegakkan dan keduanya haruslah seimbang. Akan tetapi keseimbangan di antara keduanya bisa berada pada titik yang berbeda dan bukanlah hal yang mustahil apabila terjadi pertentangan di antara keduanya.
Walaupun di Indonesia terdapat KUHP pasal 1 ayat (1), yang mengharuskan bahwa segala perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi pidana haruslah didahului dengan undang-undang yang mengaturnya, akan tetapi Indonesia juga menganut pasal 5 (3) –b UU No : 1/Darurat/1951, yang mengharuskan seorang penegak hukum dalam menegakkan hukum tidak hanya menganut pada hukum positif (tertulis) saja, melainkan juga melihat hukum adat, norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini seorang hakim boleh melakukan ijtihad demi menegakkan keadilan.
Hukum (pidana) merupakan buatan manusia yang jauh dari sempurna. Jadi, hukum adalah sebagai sarana untuk menegakkan keadilan. Keadilan harus tetap ditegakkan walaupun belum ada hukum, karena keadilanlah yang mengatur hukum, bukan hukum yang mengatur keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

- Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan,Jakarta: Gema Insani, 1995, hlm: 19-20.
- Dahlan, Zaini (Penterjemah), Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya, Cet. 5, Yogyakarta: UII Press 2006.
- Kholiq, M. Abdul, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Yogyakarta, 2002.
- Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 26, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
- Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
- Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim, Politik Hukum Pidana, Cet.2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
- Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Cet.1, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2006.
- Wasis SP., Pengantar Ilmu Hukum, Cet.1, Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Ralepi.Com - Motorcycle News