Senin, 07 Desember 2009

Jenis-Jenis Badan Usaha

Jenis-Jenis Badan Usaha

I. Pendahuluan

Badan Usaha adalah kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan, serta ada yang bertujuan untuk sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Badan Usaha seringkali disamakan dengan perusahaan, walaupun pada kenyataannya berbeda. Perbedaan utamanya, Badan Usaha adalah lembaga sementara perusahaan adalah tempat dimana Badan Usaha itu mengelola faktor-faktor produksi.
Badan usaha merupakan perwujudan atau pengejawantahan organisasi perusahaan, yang memberikan bentuk cara kerja, wadah kerja dan bentuk/ besar-kecilnya tanggung jawab pengurus/ para anggotanya. Badan usaha itu wujudnya abstrak, karena pada hakekatnya merupakan organisasi dari suatu perusahaan. Yang dapat diketahui umum untuk dibedakan hanyalah bentuknya yang tertulis di depan namanya, misanya Firma, PT, CV, dan sebagainya, sedangkan yang terlihat secara konkret dari suatu badan usaha itu sebenarnya adalah perusahaannya.
Pada dasarnya bila ditinjau dari sudut status yuridisnya, maka badan usaha itu dapat dibedakan atas:
1. Badan usaha yang termasuk badan hukum;
2. Badan usaha yang bukan badan hukum.

Bentuk-bentuk badan usaha yang termasuk badan hukum antara lain: PT, Yayasan, Koperasi, dll. Sedangkan bentuk-bentuk badan usaha yang bukan badan hukum antara lain: Firma dan CV (Comanditaire Venootschap) atau Persekutuan Komanditer.

II. Pembahasan

A. Firma
Firma adalah tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama Firma. Persekutuan perdata adalah suatu perjanjian dengan nama dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan atau kemanfaatan yang diperoleh.
Menurut Manulang (1975) persekutuan dengan firma adalah persekutuan untuk menjalankan perusahaan dengan memakai nama bersama. Jadi ada beberapa orang yang bersekutu untuk menjalankan suatu perusahaan. Nama perusahaan seperti umumnya adalah nama dari salah seorang sekutu. Pada persekutuan Firma kepribadian para sekutu sangat diutamakan yaitu kepribadian yang bersifat kekeluargaan. Hal ini dapat difahami karena sekutu dalam persekutuan Firma adalah anggota keluarga, teman sejawat, sahabat dekat yang bekerjasama mencari keuntungan bersama dengan tanggung jawab bersama.
Ketentuan-ketentuan tentang firma ini diatur dalam pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) yang bunyinya “Perseroan di bawah firma adalah suatu persekutuan untuk menjalankan perusahaan di bawah nama bersama”. Selain itu pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan inti dari firma yaitu bahwa tiap-tiap anggota saling menanggung dan untuk semuanya bertanggung jawab terhadap perjanjian firma tersebut. Agar lebih jelas, peraturan-peraturan tersebut diperkuat oleh pasal 16 dan 18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bulgerlijk Wetboek) yang menyatakan bahwa persekutuan adalah suatu perjanjian, dimana dua orang atau lebih sepakat untuk bersama-sama mengumpulkan sesuatu dengan maksud supaya laba yang diperoleh dari itu dibagi antara mereka.
Walaupun para anggota mempunyai kesatuan nama dalam menjalankan usahanya dan perusahaan mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan masing-masing anggota, namun pada umumnya firma bukanlah badan hukum, melainkan sebagai sebutan dari anggota bersama-sama. Ini disebabkan karena masing-masing anggota dengan seluruh harta benda pribadinya bertanggung jawab atas semua utang perusahaan. Sedangkan badan hukum mempunyai pengertian bahwa tanggung jawab para anggota terhadap utang perusahaan itu hanya terbatas pada kekayaan dari badan hukum bersangkutan.
Ciri –ciri bentuk badan usaha firma:
1. Anggota firma biasanya sudah saling mengenal dan saling mempercayai;
2. Perjanjian firma dapat dilakukan di hadapan notaris maupun di bawah tangan;
3. Memakai nama bersama dalam kegiatan usaha
4. Adanya tanggung jawab dan resiko kerugian yang tidak terbatas.

Kebaikan-kebaikan Firma
1. Jumlah modalnya relatif besar dari usaha perseorangan sehingga lebih mudah untuk memperluas usahanya;
2. Lebih mudah memperoleh kredit karena mempunyai kemampuan finansial yang lebih besar;
3. Kemampuan manajemen lebih besar karena adanya pembagian kerja di antara para anggota. Disamping itu, semua keputusan di ambil bersama-sama;
4. Tergabung alasan-alasan rasional;
5. Perhatian sekutu yang sungguh-sungguh pada perusahaan

Keburukan Firma:
1. Tanggung jawab pemilik tidak terbatas terhadap seluruh utang perusahaan;
2. Pimpinan dipegang oleh lebih dari satu orang. Hal yang demikian ini memungkinkan timbulnya perselisihan paham diantara para sekutu;
3. Kesalahan seorang firmant harus ditanggung bersama.

B. CV
Persekutuan Komanditer (CV) adalah Firma yang mempunyai satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan uang, barang, atau tenaga sebagai pemasukan pada persekutuan, dan tidak turut campur dalam pengurusan atau penguasaan persekutuan. Dia hanya meperoleh keuntungan dari pemasuknannya itu. Tanggung jawabnya terbatas pada jumlah pemasukannya itu.

Persekutuan Komanditer mempunyai dua macam sekutu, yaitu:
1. Sekutu Komplementer yaitu: sekutu aktif / orang yang bersedia memimpin pengaturan perusahaan dan bertanggung jawab penuh dengan kekayaan pribadinya sesuai pasal 18 KUHD;
2. Sekutu Komanditer yaitu: sekutu pasif / orang yang tidak ikut mengurus persekutuan tapi mempercayakan uangnya dalam persekutuan dan bertanggung jawab hanya terbatas pada kekayaan yang diikut sertakan dalam perusahaan tersebut

Kebaikan perseroan komanditer:
1. Pendiriannya relatif mudah;
2. Modal yang dapat dikumpulkan lebih banyak;
3. Kemampuan untuk memperoleh kredit lebih besar;
4. Manajemen dapat didiversifikasikan;
5. Kesempatan untuk berkembang lebih besar

Kelemahan peseroan komanditer:
1. Tanggung jawab tidak terbatas;
2. Kelangsungan hidup tidak terjamin;
3. Sukar untuk menarik kembali investasinya

C. Perusahaan Perseroan
Perusahaaaan perseroan, adalah perusahaan yang semua modalnya berbentuk saham, yang jenis peredarannya tergantung jenis saham tersebut. Perusahaan perseroan dikelola secara profesional. Biasanya, perusahaan-perusahaan ini mencantumkan namanya kedalam bursa efek, untuk diperjual belikan.
Perseroan Terbatas (PT), dulu disebut juga Naamloze Vennootschaap (NV), adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri dari saham-saham, yang pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya. Karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dapat diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan dapat dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.
Dalam UUPT juga ditegaskan tentang pengertian PT:
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini, serta peraturan pelaksanaannya”

Perseroan terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal perseroan tercantum dalam anggaran dasar. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan sendiri. Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham yang menjadi bukti pemilikan perusahaan. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab yang terbatas, yaitu sebanyak saham yang dimiliki. Apabila utang perusahaan melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan utang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut dividen yang besarnya tergantung pada besar-kecilnya keuntungan yang diperoleh perseroan terbatas.
Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula berasal dari obligasi. Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya perseroan terbatas tersebut.

Pembagian perseroan terbatas:
1. PT Terbuka
Perseroan terbuka adalah perseroan terbatas yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal (go public). Jadi sahamnya ditawarkan kepada umum, diperjualbelikan melalui bursa saham dan setiap orang berhak untuk membeli saham perusahaan tersebut.
2. PT Tertutup
Perseroan terbatas tertutup adalah perseroan terbatas yang modalnya berasal dari kalangan tertentu misalnya pemegang sahamnya hanya dari kerabat dan keluarga saja atau kalangan terbatas dan tidak dijual kepada umum.
3. PT kosong
Perseroan terbatas kosong adalah perseroan terbatas yang sudah tidak aktif menjalankan usahanya dan hanya tinggal nama saja.

Keuntungan utama membentuk perusahaan perseroan terbatas adalah:
1. Kewajiban terbatas. Tidak seperti partnership, pemegang saham sebuah perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk obligasi dan hutang perusahaan. Akibatnya kehilangan potensial yang "terbatas" tidak dapat melebihi dari jumlah yang mereka bayarkan terhadap saham. Tidak hanya ini mengijinkan perusahaan untuk melaksanakan dalam usaha yang beresiko, tetapi kewajiban terbatas juga membentuk dasar untuk perdagangan di saham perusahaan.
2. Masa hidup abadi. Aset dan struktur perusahaan dapat melewati masa hidup dari pemegang sahamnya, pejabat atau direktur. Ini menyebabkan stabilitas modal, yang dapat menjadi investasi dalam proyek yang lebih besar dan dalam jangka waktu yang lebih panjang daripada aset perusahaan tetap dapat menjadi subyek disolusi dan penyebaran. Kelebihan ini juga sangat penting dalam periode pertengahan, ketika tanah disumbangkan kepada Gereja (sebuah perusahaan) yang tidak akan mengumpulkan biaya feudal yang seorang tuan tanah dapat mengklaim ketika pemilik tanah meninggal. Untuk hal ini, lihat Statute of Mortmain.
3. Efisiensi manajemen. Manajemen dan spesialisasi memungkinkan pengelolaan modal yang efisien sehingga memungkinkan untuk melakukan ekspansi. Dan dengan menempatkan orang yang tepat, efisiensi maksimum dari modal yang ada. Dan juga adanya pemisahan antara pengelola dan pemilik perusahaan, sehingga terlihat tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Kelemahan Perusahaan Perseroan Terbatas
Kerumitan perizinan dan organisasi. Untuk mendirikan sebuah PT tidaklah mudah. Selain biayanya yang tidak sedikit, PT juga membutuhkan akta notaris dan izin khusus untuk usaha tertentu. Lalu dengan besarnya perusahaan tersebut, biaya pengorganisasian akan keluar sangat besar. Belum lagi kerumitan dan kendala yang terjadi dalam tingkat personel. Hubungan antar perorangan juga lebih formal dan berkesan kaku.

D. Yayasan
Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang. Di Indonesia, yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Rapat paripurna DPR pada tanggal 7 September 2004 menyetujui undang-undang ini, dan Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengesahkannya pada tanggal 6 Oktober 2004.
Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan mempunyai status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Permohonan pendirian yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. Yayasan yang telah memperoleh pengesahan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan yayasan dilakukan sepenuhnya oleh Pengurus. Pengurus wajib membuat laporan tahunan yang disampaikan kepada Pembina mengenai keadaan keuangan dan perkembangan kegiatan yayasan. Pengawas bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.
Yayasan yang kekayaannya berasal dari negara, bantuan luar negeri atau pihak lain, atau memiliki kekayaan dalam jumlah yang ditentukan dalam undang-undang, kekayaannya wajib diaudit oleh akuntan publik dan laporan tahunannya wajib diumumkan dalam surat kabar berbahasa Indonesia.
Perbuatan hukum penggabungan yayasan dapat dilakukan dengan menggabungkan satu atau lebih yayasan dengan yayasan lain, dan mengakibatkan yayasan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Yayasan dapat bubar karena jangka waktu yang ditetapkan Anggaran Dasar berakhir, tujuan yang ditetapkan tercapai atau tidak tercapai, putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

E. Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya.
Berdasarkan pengertian tersebut, yang dapat menjadi anggota koperasi yaitu:
1. Perorangan, yaitu orang yang secara sukarela menjadi anggota koperasi;
2. Badan hukum koperasi, yaitu suatu koperasi yang menjadi anggota koperasi yang memiliki lingkup lebih luas.

Pada Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 27 (Revisi 1998), disebutkan bahwa karateristik utama koperasi yang membedakan dengan badan usaha lain, yaitu anggota koperasi memiliki identitas ganda. Identitas ganda maksudnya anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh seluruh anggotanya, di mana setiap anggota memiliki hak suara yang sama dalam setiap keputusan yang diambil koperasi. Pembagian keuntungan koperasi (biasa disebut Sisa Hasil Usaha atau SHU) biasanya dihitung berdasarkan andil anggota tersebut dalam koperasi, misalnya dengan melakukan pembagian dividen berdasarkan besar pembelian atau penjualan yang dilakukan oleh si anggota.

Fungsi dan Peran Koperasi:
1. Alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat, harus dapat memperinggi taraf hidup anggotanya dan rakyat umumnya;
2. Alat pendemokrasian ekonomi nasioanal;
3. Sebagai salah satu urat nadi perekonomian bangsa Indonesia;
4. Alat Pembina insan masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangs Indonesia.

Jenis-jenis Koperasi
Koperasi secara umum dapat dikelompokkan menjadi koperasi konsumen, koperasi produsen dan koperasi kredit (jasa keuangan). Koperasi dapat pula dikelompokkan berdasarkan sektor usahanya:
1. Koperasi Simpan Pinjam, adalah koperasi yang bergerak di bidang simpanan dan pinjaman;
2. Koperasi Konsumen, adalah koperasi beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatannya jual beli menjual barang konsumsi;
3. Koperasi Produsen, adalah koperasi beranggotakan para pengusaha kecil (UKM) dengan menjalankan kegiatan pengadaan bahan baku dan penolong untuk anggotanya;
4. Koperasi Pemasaran Koperasi yang menjalankan kegiatan penjualan produk/jasa koperasinya atau anggotanya;
5. Koperasi Jasa Koperasi yang bergerak di bidang usaha jasa lainnya.

III. Kesimpulan

Badan usaha tidaklah sama dengan perusahaan, salah satu hal perbedaan yang utama adalah badan usaha adalah lembaga sementara perusahaan adalah tempat dimana badan usaha itu mengelola faktor-faktor produksi. Secara yuridis badan usaha dapat dibedakan atas badan usaha yang termasuk badan hukum dan badan usaha yang bukan badan hukum.
PT, Koperasi, Yayasan termasuk dalam badan usaha yang hukum, karena yang menjadi subjek hukumnya ialah badan usaha itu sendiri dan pada badan udaha ini harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta pengurus/ anggotanya. Akibatnya, kalau perusahaan pailit yang terkena sita hanyalah harta perusahaannya saja.
Sedangkan Firma dan CV termasuk badan usaha yang bukan badan hukum karena yang menjadi subjek hukum disini ialah orang-orang yang menjadi pengurusnya, jadi, bukan badan usaha itu sendiri dan pada badan usaha ini harta perusahaan bersatu dengan harta pribadi para pengurus/ anggotanya. Akibatnya, kalau perusahaannya pailit, harta pribadi pengurus/ anggotanya ikut tersita selain harta perusahaannya.


DAFTAR PUSTAKA

- Ali, Chidir, Badan Hukum, cet.1, Bandung: P.T Alumni, 1987.
- Bambang Riyanto, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi 4, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1999.
- Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia, cet.1, Bandung: CV. Bandar Maju, 1997.
- Hatta Mohammad, Pengantar ke Jalan Ekonomi Perusahaan, Jakarta: Mutiara, 1981.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penterjemah: Prof. R. Subekti SH., Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
- Komaruddin, Ekonomi Perusahaan & Manajemen, Bandung: PT. Alumni, 1982.
- Lukas Setia Atmaja, Manajemen Keuangan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi, 2002.
- Manulang, Dasar-dasar Manajemen, Medan : CV Ghalia Indonesia, 1975
- Martono dan D.Agus Harjito, Manajemen Keuangan , Edisi Pertama, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, Kampus FE UII, 2001.
- Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.1, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
- Sukotjo, Ibnu dan Basu Swastha, Pengantar Bisnis Modern, Yogyakarta: Liberty, 1993.
- Sutrisno, Manajemen Keuangan: Teori, Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia FE UII, 2000.
- Undang-Undang Perseroan Terbatas, Tahun 1995.
-

KEKUASAAN KEHAKIMAN

KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Ruang Lingkup Pengertian Batasan Kekuasaan Kehakiman

A.1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif.

A.2. Batasan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU no.4 tahun 2004 yang menggantikan UU no.14 tahun 1970. Pasal 1 UU no.4 tahun 2006 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada batas, melainkan dibatasi dari segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.

B. Fungsi dan Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar pasca Amandemen). Dengan demikian maka hakim berkewajiban untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

C. Badan-Badan Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman

Sesuai dengan isi dari UUD 1945 maka kekuasaan kehakiman di Indonesia berada di tangan Mahkamah Agung danMahkamah Konsititusi.

1. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1). Kewenangan MA adalah mengadili pada tingkat kasasi atas setiap perkara yang diajukan kepadanya, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A ayat 1).
Sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga pengadilan Negara tertinggi maka MA membawahi empat lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Walaupun pengadilan yang ada dalam empat lingkungan peradilan itu berada di bawah Mahkamah Agung bukan berarti MA dapat mempengaruhi putusan badan peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam tingkat kasasi. Sedangkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang (Pasal 24 ayat 3). Badan-badan lain yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah misalnya kejaksaan, kepolisian, advokat/pengacara dan lain-lain.

2. Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution) . Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan diluruskan oleh Mahkamah konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang oleh UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD;
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus sengketa pemilu;
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD.

Hakim konstitusi terdiri dari 9 orang yang ditetapkan oleh Presiden dari calon yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Dengan demikian 9 orang hakim konstitusi itu mencerminkan perwakilan dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif.

D. Hubungan Antara Kekuasaan Kehakiman dengan Hukum (Perdata) Materiil dan Formil

Hukum perata materiil adalah pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana selayaknya warga masyarakat tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akan tetapi hukum bukanlah hanya sebagai pedoman saja, namun harus dilaksanak. Setiap orang dapat melaksanakan hukum tersebut meskipun kadang-kadang mereka tidak menyadarinya.
Hukum perdata formil adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Untuk melaksanakan aturan-aturan dan menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil maka diperlukan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini badan peradilan. Peraturan-peraturan hukum perdata formil tersebut hanya dapat dilaksanakan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman maka hukum perdata formil tidak dapat dilaksankan dan hukum perdata materiil tidak dapat dijamin pelaksanaannya.

E. Kaitan Kekuasaan Kehakiman dengan Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menegakkan, menerapkan hukum dan keadilan tidak hanya atas nama Undang-Undang, akan tetapi juga keadilan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.

F. Yang Harus Dimiliki Dari Pribadi Hakim

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa sifat yang harus dimiliki oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanpa Pamrih. Sifat tersebut menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi seorang hakim, karena profesi harus dipandang sebagai pelayanan;
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur;
3. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik;
4. Intelektual;
5. Menjunjung tinggi martabatnya.



Kerelevanan Hukum Tanah Adat

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak-tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh karena itu tanah sangat dibutuhkan setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah– kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat. Tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang–orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya–daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Dinegara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya. Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah–kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang timbul dan berkembang di dalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemanfaatan antar sesama manusia sekaligus menghindarkan perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik–baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat.

BAB II
PEMBAHASAN

Kedudukan Hukum Tanah Adat dan Agraria Indonesia dalam Penanggulangan Permasalahan Pertanahan.
Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat. Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960 menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama hukum agraria nasional. Namun perlu diingat bahwa hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, dalam substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Dr. A. P. Parlindungan,SH bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro kepada kepentingan
negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan unsur agama. Jadi, motivasi dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya, benar-benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan. Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian ataupun transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa). Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai – nilai agama, adat istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat (hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini. Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar.
Dalam hukum tanah adat terdapat tanah persekutuan dan tanah perseorangan yang menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.
Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya. Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan sosial dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan
keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling imbang mengimbangi, atau adil adanya.
Salah satu hal yang dapat menjamin kepastian hukum bidang pertanahan adalah dengan melakukan pensertifikatan tanah adat. Pasal 19 UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan- ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah. Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas yang jelas. Untuk kondisi pertanahan di Indonesia yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh hukum Eropa dan hukum tanah adat, cara yang agaknya memenuhi syarat tersebut ialah sistem buku tanah.


BAB III
KESIMPULAN

Hukum tanah adat pada saat ini mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum tanah adat saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif dan aplikatif ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Setidaknya ada empat cirri penguasaan tanah menurut hukum adat di Indonesia yaitu: tidak mengenal kepemilikan mutlak, bersifat inklusif, larangan memperjualbelikan tanah, serta lebih dihargainya manusia dan kerjanya disbanding sumber daya tanah. Sesungguhnya penguasaan menurut hukum tanah adat akal lebih tepat untuk kesejahteraan masyarakat, karena menghindari tanah yang terlantar dan juga bagi hasil yang lebih adil.
Oleh karena itu penetapan hukum tanah adat menjadi sumber hukum materiil di Indonesia masih sangat relevan walaupun ditengah-tengah pengembangan hukum agraria di Indonesia pada saat sekarang ini.


DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-Undangan Republik Indonesia, Jakarta: Cendana Press, 1984.
- Ahmad Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila, Jakarta: Dewa Ruci Press, 1982.
- E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: T.Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar, 1962.
- Parlindungan, Komentar Atas Undang- Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maj, 1998.
- Mr.Ter Haar BZN, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.

DESKRIPSI HAK MEMILIKI DAN HAK MENGUASAI

DESKRIPSI HAK MEMILIKI DAN HAK MENGUASAI

A. Tinjauan Umum Tentang Hak Memiliki

Hak Milik adalah hak turun-temurun , terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh.
Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Adapun Kepemilikan/subyeknya adalah sebagai berikut:
• Hanya dapat dimiliki oleh WNI;
• Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh pemerintah;
• Orang-orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak milik.
Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan Pemerintah atau ketentuan Undang-Undang. Bukti Pemegang Hak yaitu:
• Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
• Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa negara tidak mempunyai hak untuk memiliki karena negara bukan bagian dari subyeknya, negara hanya diberi hak untuk menguasai. Mengenai hak menguasai oleh negara akan dijelaskan selanjutnya.

B. Tinjauan Umum Tentang Hak Menguasai

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia , karena di dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas:
• Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan
• Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bunyi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, adalah sebagai berikut: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat." Inti dari pasal ini tidak lain bahwa setiap hasil bumi Indonesia yang menjadi kekayaan alam, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Hal ini dipertegas oleh Pasal 1 ayat 2 UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yang menyebutkan: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional." Kemudian disambung oleh ayat 3 yaitu: "Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi." Pasal tersebut menempatkan hak bangsa sebagai hak penguasaan yang tertinggi terhadap kekayaan alam yang berasal dari perut bumi..
Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu tentang beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:
1. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum. Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).
2. Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu. Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.
Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Adapun Hak Bangsa adalah hak yang memiliki unsur kepunyaan dan kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan. Maka, segala kewenangan pada hak bangsa dilimpahkan kepada negara. Untuk itu, subjek hak bangsa dapat diartikan seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dari generasi terdahulu, sekarang dan akan datang. Sebagaimana yang disebutkan di atas, hak bangsa mengandung unsur kepunyaan dan kewenangan yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada negara sebagaimana dikenal sebagai Hak Menguasai dari Negara (HMN).
Oleh karena itu, berdasarkan pokok pikiran di atas, memberikan petunjuk mengenai pengertian dan substansi HMN sebagaimana dituangkan melalui Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, akan berimplikasi: Pertama, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya; Kedua, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (bahan galian) 'dipergunakan' untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu tema kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari setiap pengelolaan dan penggunaan sumberdaya alam nasional. Tujuan itu dipandang sebagai kepentingan yang tidak dapat diabaikan. Sebab, selain merupakan 'amat konstitusi' menjadi dambaan setiap warga negara dan tanggung jawab negara' sebagai konsekuensi dari hak menguasai negara.
Kalau hal ini dihubungkan dengan kebijakan pertambangan, maka setiap pengusahaan dan penggunaan bahan galian yang berasal dari kekayaan alam Indonesia harus disesuaikan dengan tujuannya dan sifat strategis masyarakat, yaitu menempatkan nilai kepastian hukum (rechtzekerheid) di dalamnya. Maka, negara diidentikan sebagai pemilik dalam rangka menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.
Untuk itu dalam tataran HMN mengandung makna: Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan objek kepemilikan; Menentukan dan mengatur hubungan antara orang dengan objek kepemilikan; Menentukan dan mengatur hubungan antara orang dan perbuatan hukum atas objek kepemilikan. Atas dasar itu, HMN harus dilihat pada konteks hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domain) yang bersifat publiek rechttelijk. Pemahaman demikian bermakna bahwa negara sebagai pemilik kewenangan untuk mengatur perencanaan dan pelaksanaan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam nasional.
Berdasarkan hal itu, apakah HMN dapat dialihkan? Dilihat dari persfektif hukum perdata, dalam HMN terdapat suatu objek yang dikuasai atau dialihkan penguasaannya kepada pihak lain. Tetapi pengalihan itu, negara tidak dapat mengalihkan melebihi yang ia kuasai. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana sifat dan bentuk pengalihan HMN itu?
Karena negara adalah sebagai badan hukum publik, maka HMN harus bersifat hukum publik. Sifat pengalihan HMN itu harus tunduk pada kaidah hukum publik yang lebih menekankan pada 'kewenangan'. Misalnya, dalam bentuk pemberian izin pengusahaan pertambangan kepada pemegang Kuasa Pertambangan (KP). Izin tersebut dapat diartikan sebagai delegasi, mandat dan kuasa penuh (volmach).
Sebagai pemegang kekuasan, negara berwenang memberikan kuasa baik kepada badan usaha maupun perorangan untuk melakukan pengusahaan/pengelolaan atas bahan galian dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Misalnya dalam bentuk pembuatan kontrak karya pertambangan yang memuat kedudukan seimbang antara negara selaku pemilik bahan galian (prinsipal) dengan investor (kontraktor pertambangan).
Berikut ini adalah beberapa rumusan lain yang dikemukakan oleh para pakar tentang pengertian, makna, dan subtansi “dikuasi oleh negara” sebagai dasar untuk mengkaji hak penguasaan negara antara lain yaitu:
• Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.
• Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.
• Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut: (1) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; (2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan pemerintah;(3) Tanah … haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (4) Perusahaan tambang yang besar … dijalankan sebagai usaha negara.
• Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut: (1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, (2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.



PEMBATASAN LUAS TANAH PERTANIAN DIKAITKAN DENGAN KEMAKMURAN RAKYAT

PEMBATASAN LUAS TANAH PERTANIAN DIKAITKAN DENGAN KEMAKMURAN RAKYAT

I. Pendahuluan

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Perombakan atau pembaruan struktur keagrariaan terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan/garapan untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan land reform.
Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reforma agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Perancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka Kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani. Dilaksanakannya Konferensi Dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Developent) yang diselenggrakanan oleh FAO (Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979 merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang dikenal dengan Piagam Petani (The Peasants’ Charter).
Indonesia merupakan salah satu peserta dari konferensi dunia itu melakukan pembaruan di bidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 tentang Luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah , pada tanggal 24 Desember 1960.
Pertanyaan sekarang adalah sejauhmanakah urgensi pembatasan luas batas maksimum dan minimum kepemilikan tanah dalam upaya pencegahan dan penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia?

II. Pembahasan

A. Pengertian Landreform

Land Reform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah. Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah land reform bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Land reform di Negara-negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena issue tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada istilah Land Reform.
Agrarian reform Indonesia meliputi lima program yaitu:
1. Pembaharuan hukum agrarian;
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi colonial atas tanah;
3. Mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur;
4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah
5. Perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
Keseluruhan yang tersebut di atas merupakan pengertian land reform dalam arti luas sedangkan pengertian land reform dalam arti sempit terdapat pada point 4.

B. Dasar Hukum Land Reform

Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960. Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang penetapan luas tanah pertanian. UU No. 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia. Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti rugi.

C. Tujuan Land Reform

Tujuan dari land reform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

D. Program Land Reform

Program land reform meliputi:
1. Pembatasan luas maksimum pemilikan tanah;
2. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai” - redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara;
3. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;
4. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
5. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

E. Analisis

Sebagaimana di uraikan di atas bahwa salah satu program landreform adalah pembatasan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki oleh rakyat. Namun, Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga sekian puluh tahun usia UUPA masih juga belum seperti yang diharapkan. Ini tampak dari beberapa hal yaitu :
Pertama, kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali merupakan hal yang diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena dilakukan melalui cara-cara pembuatan surat kuasa mutlak atau pemilikan KTP ganda.
Kedua, pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi dan hal-hal seperti ini menyumbang pada persoalan macetnya program landreform.
Ketiga, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, den-gan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tek-nik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.
Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.
Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, Pasal 11 ayat (1) UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang sama juga memperhatikan adanya perbedaan da-lam keadaan dan keperluan hukum berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta. Sedang-kan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
Masalah penguasaan tanah pertanian, prinsip dasarnya telah digariskan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 (prinsip mengerjakan atau mengusahakan sendiri hak atas tanah pertanian secara aktif) serta Pasal 17 yang mengisyaratkan tentang perlunya peraturan mengenai batas maksimum luas tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.
Urusan tanah-tanah nonpertanian diatur dengan UU No. 56 PRP tahun 1960 Pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.
Sebelum memperoleh hak atas tanah, pemilik HGU dan HGB (biasanya adalah penanam modal) harus memperoleh ijin lokasi yang sering berdampak negatif karena disalah gunakan serta pengawasan dan pengendaliannya tidak efektif. Perolehan tanah lewat ijin lokasi tanpa ketentuan batas maksimum tanah sering diwarnai dengan pemberian ganti rugi yang tidak adil dan disertai pemaksaan kehendak secara sepihak dan penggusuran. Alih fungsi tanah pertanian sering dilakukan untuk dijual lagi dengan harga mahal.
Tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai keperluan sehingga sering timpang. Rencana tata ruang juga sering dimanipulasi oleh banyak pihak. Pemerintah saat ini perlu memiliki lembaga penyalur tanah (land banking), untuk mengendalikan pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah-tanah pertanian untuk kegunaannya yang lain. Akibat dari ketimpangan akses kepemilikan tanah ditambah dengan rasa ketidakadilan dari bekas pe-megang hak atas tanah yang tergusur dan kecemburuan sosial dari masyarakat yang tersingkirkan dari ke-sempatan memperoleh tanah, ditambah krisis moneter yang membuat banyak orang terkena PHK, kini tampak dalam bentuk penyerobotan dan "penjarahan" tanah.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kebijaksanaan pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar. Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang menyangkut pen-guasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam merancang kebijakan pe-nataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.

III. Kesimpulan

Dari uraian ini disimpulkan bahwa pembatasan luas maksimum dan minimum tanah merupakan hal yang penting karena pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dapat merugikan kepentingan umum. Selain itu, pembatasan juga dapat memberi pengaturan untuk mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Penekanan lain dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah dengan melakukan usaha pencegahan monopoli swasta. Hal ini dapat lebih memudahkan proses pencegahan atau penyelesaian konflik pertanahan yang timbul di kemudian hari.


DAFTAR PUSTAKA

- Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undan-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, -Ed.rev., Cet.10, Jakarta: Djambatan, 2005.
- Maria, S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan (Antara Regulasi & Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku, Kompas, 2001.
- Parlindungan, A.P., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, 1990.
- Selo Soemardjan, Land Reform di Indonesia, dalam buku Tjondronegoro/ Wiradi: Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa), Jakarta:PT. Gramedia, 1984.
- Suprapto, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek, Penerbit Penulis, 1986.

PERPRES NO.36 TAHUN 2005 BERTENTANGAN DENGAN HUKUM DAN HAM

PERPRES NO.36 TAHUN 2005
BERTENTANGAN DENGAN HUKUM DAN HAM

PEMBAHASAN

Cita-cita reformasi untuk mengedepankan demokratisasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia telah ternodai. Begitu pula jargon Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi ”Presiden untuk Semua” ketika masa kampanye telah teruji tak terbukti. Di tengah harapan adanya pembaruan dan perubahan di segala aspek kehidupan bernegara, muncullah Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Atas nama pembangunan dan kepentingan umum, setiap warga siap-siap untuk diusir dari tanah yang ditempatinya.
DI masa Orde Baru, pengaturan seperti ini pernah ada, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 (selanjutnya disingkat Keppres). Tetapi, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 (selanjutnya disingkat Perpres) pada bagian Menimbang disebutkan bahwa Keppres sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal, isi Perpres ini mengatur hal yang sama, baik judul, isi, maupun sistematikanya. Lalu mengapa harus diganti?
Jika ditinjau lebih jauh, satu-satunya alasannya adalah karena Keppres tersebut terlalu lunak, alias kurang galak atau kurang represif di tengah masyarakat yang mulai melek terhadap hak-hak mereka. Oleh karena itu, Keppres tersebut perlu diganti dengan peraturan yang lebih represif dan galak serta siap menggigit.
Pengaturan yang menyebabkan Perpres lebih represif dibandingkan dengan Keppres di antaranya adalah mengenai alasan pengadaan tanah, cara pengadaan tanah, pembangunan macam apa yang diperkenankan, dan penyelesaian ganti rugi melalui musyawarah.
Dalam Keppres disebutkan bahwa pengadaan tanah hanya digunakan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan (Pasal 2 Ayat 1), sedangkan dalam Perpres hal ini tidak jelas. Ini berarti pengadaan tanah tidak saja semata-mata untuk pembangunan, tetapi juga untuk hal lain yang dianggap pemerintah sebagai kepentingan umum.
Padahal, pengertian kepentingan umum dalam Perpres telah dimodifikasi, yaitu untuk sebagian lapisan masyarakat, sementara dalam Keppres disebut untuk semua lapisan masyarakat. Sampai sekarang tidak pernah jelas apa yang dimaksud dengan kepentingan umum.
Dalam Keppres hanya dikenal satu cara untuk pengadaan tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah (Pasal 2 Ayat 2). Sementara dalam Perpres terdapat dua cara untuk memperoleh tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah dan melalui pencabutan hak atas tanah, seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1961.
Pencabutan hak atas tanah seperti yang diatur dalam UU tersebut adalah dalam hal keadaan memaksa (Pasal 1). Sedangkan dalam Perpres ini pencabutan dilakukan apabila tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi sementara pembangunan tidak dapat dialihkan (Pasal 18).
Dalam Keppres telah dibatasi pembangunan yang dibangun, yaitu pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan (Pasal 5). Sedangkan dalam Perpres pengaturan ini tidak ada lagi.
Hal ini berarti bisa saja pembangunan yang akan digunakan untuk mencari keuntungan. Tidak jelas juga apakah bangunan yang dibangun tersebut akan dimiliki oleh pemerintah atau tidak, asal pembangunan itu dilaksanakan oleh pemerintah, maka dapat memperoleh pengadaan tanah (Lihat Pasal 5 Perpres).
Selain itu, Perpres ini masih mempertahankan pengaturan-pengaturan yang mengebiri hak-hak asasi manusia. Di antaranya mengenai ganti kerugian yang diselesaikan melalui musyawarah. Parahnya lagi, musyawarah ini dibatasi paling lama 90 hari. Jika tidak dihasilkan kesepakatan, maka panitia pengadaan tanah akan menetapkan besaran ganti rugi dan dititipkan ke pengadilan negeri sementara pelepasan atau pencabutan hak atas tanah akan terus berlangsung.
Padahal tuntutan ganti kerugian merupakan suatu sengketa perdata. Sengketa ini hanya dapat diselesaikan melalui musyawarah dan menutup penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Musyawarah bukanlah jalur formal penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti negosiasi atau mediasi di mana pihak-pihak yang berunding sangat jelas.
Lagi pula proses penyelesaian melalui musyawarah tersebut sangat tidak berimbang, yaitu pemegang hak atas tanah, pihak yang menginginkan tanah (pemerintah), dan dimediasi panitia pelepasan tanah (yang notabene bentukan pemerintah yang otomatis memihak pada pemerintah). Di sisi lain, pemegang hak atas tanah untuk didampingi pengacara atau pihak lain tidak dijamin bahkan tidak diperkenankan (lihat bunyi Pasal 9 Ayat 1).
Model-model penyelesaian ini akan menyebabkan terjadi pemaksaan kehendak mengenai jumlah besaran ganti rugi dan nantinya akan berujung pada kekerasan. Sebagai contoh, penggusuran rumah warga Lorong W Barat (Tanjung Priok) di sepanjang pinggir rel yang berakibat bentrok karena uang kerohiman (penggantian) yang dijanjikan hanya Rp 500.000 per keluarga (26 Januari 2005).
Penggusuran untuk pembangunan fasilitas MTQ di Sulawesi Tenggara yang ditolak warga karena harga tanah mereka Rp 103.000 per meter, tetapi pemerintah cuma mau mengganti Rp 30.000. Pembongkaran paksa bangunan Hotel Segara di Jalan Veteran, Jakarta Pusat (2 Mei 2005), yang telah dibeli TNI AD, masyarakat korban terpaksa menerima uang pengganti sebesar 2 juta dari TNI AD, padahal nilai jual obyek pajak (NJOP) sebesar Rp 8,9 juta per meter.
Dalam Perpres ini diatur juga mengenai bentuk-bentuk ganti rugi selain uang, di antaranya tanah pengganti dan pemukiman kembali. Dalam praktiknya, bentuk ganti rugi yang berupa pemukiman kembali tidak pernah menyelesaikan masalah, tetapi menimbulkan konflik baru.
Sebagai contoh di antaranya kasus Kedungombo, kasus pembangunan dam di Kuto Panjang, kasus pembangunan dam di tempat-tempat lain yang nyatanya tidak pernah selesai dan menimbulkan konflik berkepanjangan.
Pengadaan tanah seperti yang diatur dalam Perpres ini akan mengakibatkan bentuk-bentuk pengusiran dan penggusuran secara paksa (forced eviction) menjadi legal hanya dengan alasan penataan kota atau pembangunan sejumlah fasilitas umum. Aksi ini tentu saja akan berakibat serius bagi para korbannya.
Baik itu properti pribadi, kelompok atau suku, maupun penderitaan secara fisik karena menggunakan kekerasan. Coba saja lihat kasus Bulukumba, kasus TPST Bojong yang mengakibatkan 35 orang ditangkap dan 133 orang dilaporkan hilang, kasus pengusiran penduduk asli Gendang Mahima di kawasan tanah Erpacht di Kabupaten Manggarai (NTT) yang berakibat 73 orang ditangkap dan rumah-rumah penduduk dibakar.
Penggusuran di Jakarta yang mengakibatkan sekitar 10.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Akibat yang serius inilah yang menyebabkan hukum hak asasi manusia internasional dengan tegas memasukkan tindakan pengusiran paksa sebagai kejahatan hak asasi manusia berat (lihat Laporan Elsam, 2005).
Selama ini walaupun tidak ada Perpres serepresif ini, praktik-praktik penggusuran dan pengusiran telah berlangsung. Lihat saja nasib yang menimpa masyarakat adat Tobu HukaEa la-Ea di Kendari, yang hanya melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur, rumah mereka dibongkar dan dihancurkan kemudian mereka diusir dari kampungnya.
Sementara di Tangerang, dengan dasar hukum peraturan daerah (perda) praktik penggusuran menjadi legal. Begitu pula di Jakarta, melalui perda penggusuran dan pembongkaran terus berlangsung. Belum lagi berbagai putusan pengadilan yang berakibat pada pengusiran paksa.
Lalu apa jadinya jika perda-perda atau SK-SK itu mempunyai dasar hukum yang kuat seperti Perpres? Tentu saja rangkaian penggusuran dan pengusiran paksa atas tanah yang dilakukan atas nama pembangunan semakin panjang.


PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui Perpres ini presiden kita hanya memihak pada pembangunan infrastruktur saja. Untuk itu, demi reformasi, demokratisasi, dan demi memberikan perlindungan hukum serta memberikan rasa keadilan masyarakat, maka Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, harus segera dicabut oleh Presiden RI karena baik secara formil ataupun materiil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia itu sendiri, yaitu dengan melegalkan pengusiran dan penggusuran paksa.


STUDI KASUS SENGKETA ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM PEREBUTAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

STUDI KASUS SENGKETA ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM PEREBUTAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

A. Posisi Kasus

Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara "Asian Way", sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara "sambil minum teh".
Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun turisme dan arena diving yang sangat bagus (betapa "kasihannya" Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana diplomasi yang dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan?
2. Kenapa Indonesia dapat kalah dalam kasus tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia adalah fity-fifty?
3. Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya dalam mengatasi kasus yang serupa?

C. Putusan Mahkamah Internasioanal

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

D. Pembahasan

Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan "besi tua yang mengambang" dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau "tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.

E. Kesimpulan

Putusan Mahkamah Internasional untuk menyerahkan status Sipadan-Ligitan kepada Malaysia merupakan pengalaman berharga yang mesti ditarik hikmahnya oleh semua pihak yang terkait. Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah :
Pertama, bagi pemerintah dan Deplu agaknya masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim teritorial ini. Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah Aceh yang sangat menguras energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan banyak pekerjaan rumah yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki klaim tumpang tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam, dan Singapura.
Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial.
Ketiga, mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara kepulauan untuk secara efektif menguasai seluruh pulau di batas teritori kita. Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut RI. Koordinasi ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait dengan penjagaan wilayah laut RI juga berkaitan dengan maraknya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional yang rentan terjadi di Indonesia adalah pencurian ikan, bajak laut, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata konvensional.
Keempat, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih proses sengketa Sipadan-Ligitan sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat pada umumnya. Kronologis sengketa ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan proses diplomasi yang dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak utuh terhadap sengketa Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan juga dapat mengakibatkan mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia internasional pada umumnya.

SEJARAH LAHIRNYA UU POKOK AGRARIA NO.5 TAHUN 1960

SEJARAH LAHIRNYA UU POKOK AGRARIA
NO.5 TAHUN 1960

Sebelum berlakunya UUPA berlaku bersamaan berbagai perangkat Hukum Agraria. Ada yang bersumber pada Hukum Adat, yang berkonsepsi komunalistik religious. Ada yang bersumber pada Hukum Perdata Barat yang individualistic-liberal dan ada pula yang berasal dari berbagai bekas Pemerintahan Swaparja, yang umumnya berkonsepsi feudal. Hukum Agraria yang merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara, hamper seluruhnya terdiri atas peraturan-peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi Pemerintah Jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya yang dituangkan dalam Agrarische Wet 1870.
Selain itu adanya dualisme dalam Hukum Perdata memerlukan tersedianya perangkat hukum yang terdiri atas peraturan-peraturan dan asas-asas yang member jawaban, hukum apa atau hukum yang mana yang berlaku dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum Antargolongan di bidang agraria. Perangkat hukum ini dikenal sebagai Hukum Agraria atau Hukum Tanah Antargolongan.
Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama :
a. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian ter- susun berdasarkan tujuan dan sendir-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
b. Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat di- samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum
UU Pokok Agraria akhirnya dibentuk pada tahun 1960. Dalam dimuat tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum dan garis-garis besar ketentuan-ketentuan pokok Hukum Agraria/Tanah Nasional. Penjabarannya dilakukan dengan membuat berbagai peraturan pelaksanaan yang bersama-sama UUPA merupakan Hukum Agraria/Tanah Nasional Indonesia. Tujuannya adalah akan mewujudkan apa yang digariskan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang penguasanya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UUPA menciptakan Hukum Agraria Nasional berstruktur tunggal, yang seperti dinyatakan dalam bagian “Berpendapat” serta Penjelasan Umum UUPA berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya sebagian terbesar rakyat Indonesia.
Perubahan tersebut diselenggarakan secara cepat, fundamental dan menyeluruh dalam rangka apa yang pada waktu itu disebut: menyelesaikan Revolusi Nasional kita, yang menghendaki penyelesaian segenap persoalannya secara yang revolusioner, dengan bersemboyan: Pull down yesterday. Construct for tomorrow dan dalam rangka: retooling alat-alat untuk menyelesaikan Revolusi.
Dengan kata-kata sekarang, semuanya itu adalah pada hakikatnya dalam rangka melaksanakan Pembangunan Nasional, mengisi kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
UUPA mengubah secara fundamental prinsip-prinsip hukum pertanahan yang berlaku sebelum tahun 1960. Perubahan fundamental ini meliputi perangkat hukumnya, dasar konsepsinya maupun isinya. Dengan berlakunya UUPA, kondisi pertanahan nasional diperintahkan supaya didasarkan oleh hukum tanah adat yang sederhana dan menjamin kepastian hukum tanpa mengabaikan hukum agama. UU yang memberi kemungkinan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.
Pada awal-awal berlakunya UUPA, kegiatan pertanahan nasional berorientasi pada program-program reformasi tanah (Landreform). Mengubah gaya lama penguasaan tanah yang kolonial dengan program redistribusi tanah kepada rakyat dan melarang monopoli penguasaan tanah termasuk feodalisme di pedesaan.
Namun, cita-cita itu tidak berlangsung lama. Sejak tumbangnya Orde Lama yang digantikan Orde Baru, program-program pembangunan pemerintah berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Kalau menggunakan matematika ekonomi, berarti membutuhkan modal untuk menyuntik mesin industri. Industri membutuhkan tanah-tanah untuk bahan sumber produksi. Industri membutuhkan petani untuk memetik kopi, tembakau dan jagung di perkebunan.















ASAS TERRITORIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

ASAS TERRITORIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
(STUDI KASUS TINDAK PIDANA NARKOBA ASAL NIGERIA, HANSEN ANTHONY NWAOLISA DAN SAMUEL IWUCHUKWU OKOYE)

I. Pendahuluan

Dalam perundang-undangan hukum pidana terdapat batas-batas berlakunya hukum tersebut menurut tempat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat terjadinya perbuatan. Pembahasan mengenai batas berlakunya hukum pidana dari segi tempat tidak dapat dilepaskan dari pengkajian terhadap sejumlah asas yang berhubungan dengan masalah tersebut, yaitu:
1. Asas Territorialitas
2. Asas Nasionalis Aktif
3. Asas Nasionalis Pasif
4. Asas Universal
5. Asas Ekstra Territorialitas
Asas-asas ini berfungsi untuk memecahkan berbagai masalah yang muncul mengenai: sampai batas manakah sesungguhnya aturan hukum pidana dari suatu negara itu bisa diberlakukan? Munculnya problem dasar ini adalah karena menurut hukum ketatanegaraan, setiap negara merdeka itu memiliki apa yang disebut dengan kedaulatan baik bersifat politik maupun hukum. Sehingga konsekwensinya hukum pidana suatu negara tentu tidak dapat begitu saja bisa diberlakukan di negara lainnya karena bila hal itu terjadi akan menimbulkan perbenturan kedaulatan.
Pada kesempatan kali ini penulis akan menganalisis sebuah kasus tindak pidana narkoba yang dilakukan oleh Warga Nigeria, yaitu Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye. Kenapa pada akhirnya dua WNA tersebut diadili bahkan dieksekusi mati di Indonesia?

II. Pembahasan

A. Analisis Kasus

Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa adalah dua Warga Negara Asing berkebangsaan Nigeria yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia karena terbukti telah melakukan penyelundupan heroin di Indonesia. Samuel Iwuchukwu Okoye terbukti melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin yang disembunyikan di dalam tasnya saat masuk ke Indonesia pada tanggal 9 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Tangerang memvonis hukuman mati pada 5 Juli 2001. Vonis itu diperkuat oleh putusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Sedangkan Hansen Anthony Nwaolisa terbukti menyelundupkan 3,2 kg heroin pada tanggal 29 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang kemudian memvonis mati pada 13 Agustus 2001 dan Vonis itu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada akhirnya dua terpidana mati tersebut telah dieksekusi mati, Kamis tengah malam di Nirbaya, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Kenapa Indonesia berhak mengadili kedua Warga Negara Asing tersebut? Atas dasar apakah penegakan hukum itu dilakukan?

B. Asas Teritorialitas

Asas teritorialitas mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Ketentuan asas territorialitas di Indonesia termaktub dalam KUHP Pasal 2, yang berbunyi:
“Aturan pidana dalam perundang-undangan, berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, baik itu Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia. Mengenai maksud dari wilayah Indonesia adalah mencakup:
1. Seluruh kepulauan maupun daratan bekas wilayah Hindia Belanda;
2. Seluruh perairan territorial Indonesia (laut dan sungai/danau) serta perairan menurut Zona Ekonomi Eklusif (hasil Konvensi Laut Internasional), yaitu wilayah perairan Indonesia ditambah 200 meter menjorok ke depan dari batas wilayah perairan semula;
3. Seluruh bangunan fisik kendaraan air atau pesawat berbendera Indonesia sekalipun sedang berlayar di luar negeri (lihat ketentuan UU No. 4 Tahun 1976)

C. Penerapan Asas Territorialitas Terhadap Kasus Tindak Pidana Narkoba Asal Nigeria, Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye.

Hukum Pidana Indonesia dapatlah diterapkan bagi pelaku tindak pidana narkoba yang dilakukan kedua Warga Negara Nigeria tersebut. Hal tersebut dibenarkan karena penerapan asas territorialitas di Indonesia. Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah melakukan tindak pidana dengan locus delicti -nya ialah wilayah Indonesia. Sesuai dengan asas territorialitas, maka bagi siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia baginya.
Memang selain dianutnya asas territorialitas dalam hukum pidana, juga terdapat asas nasionalitas aktif, yaitu perundang-undangan hukum pidana yang berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negaranya, di mana saja, juga di luar wilayah negaranya. Apabila melihat dari asas tersebut, maka pada dasarnya Pengadilan Nigeria juga berhak untuk mengadili warga negaranya yang telah melakukan tindak pidana di Indonesia tersebut.
Dalam tataran aplikasi, penerapan secara mutlak terjadap ajaran kedaulatan negara memang sangat rentan terhadap timbulnya berbagai masalah seperti benturan kedaulatan antar negara yang dapat memicu ketegangan hubungan bilateral bahkan mungkin peperangan. Karena mengenai kasus tersebut, Indonesia berdalih sebagai negara berdaulat berhak dan memiliki kewenganan untuk menindak tegas siapapun yang berbuat tindak pidana di wilayah Indonesia, dan juga Nigeria dapat berdalih adanya konsep kedaulatan negara yang mengajarkan bahwa setiap negara berdaulat dapat mengharapkan kepada setiap warganya untuk tunduk patuh pada undang-undang negaranya di manapun ia berada.
Oleh karena itu untuk mengatasi problem tersebut, maka asas nasionalitas aktif hanya berlaku terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang mengancam kepentingan bangsa masing-masing. Jadi tidak semua kejahatan yang dilakukan oleh warga negara di wilayah negara lain dapat diberlakukan hukum negaranya sendiri.
Dengan penjelasan tersebut maka Indonesia sebagai negara berdaulat yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas siapapun yang berbuat tindak pidana di Indonesia berhak untuk mengadili Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye.

III. Kesimpulan

Asas territorialitas mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Dan Indonesia juga menganut asas ini, hal ini termaktub dalam ketentuan pasal 2 KUHP.
Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah melakukan tindak pidana narkoba, yaitu melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin dan 3,2 kg ke Indonesia. Locus delicti kasus tersebut berada di Indonesia, sesuai dengan asas territorialitas, bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia baik itu WNI maupun WNA maka berlaku baginya hukum pidana Indonesia, maka Indonesia berhak untuk mengadili kedua tersangka tersebut. Karena Indonesia adalah negara berdaulat yang berhak dan memiliki kewenangan untuk menindak tegas siapapun yang berbuat tindak pidana di wilayah Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (terjemahan Moeljatno), cet.22 Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003
- Kholiq, M. Abdul, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, 2002
- Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002.
- www.kompas.co.id
- www.republika.co.id
- www.kedaulatanrakyat.co.id




Definisi dan Sumber Hukum Adat

HUKUM ADAT

A. Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa Ahli:

1. Supomo & Hazairin:
Mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.

2. Bushar Muhammad:
Menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.

3. Van Vollenhoven:
Menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”).

4. Soekanto:
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.

5. Soerjono Soekanto:
Hukum non statuter yang untuk bagian terbesar merupakan hukum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pada putusan-putusan hakim yang berisikan asas-asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara diputuskan.

B. Sumber hukum adat (rechts bron)

1. Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat;
2. Kebudayaan tradisi rakyat;
3. Ugeran-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih;
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat.




Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Ralepi.Com - Motorcycle News